Beras Analog, Bukan Beras Biasa
Penulis:
Deborah Gita Sakinah (13356)
Sumber:
Kementrian Riset dan Teknologi Republik Indonesia
Indonesia dulunya dikenal dengan negara agraris. Hal
ini didukung oleh fakta tercapainya swasembada pangan pada era Suharto dengan
produksi beras 28,5 juta ton per tahun. Namun, peningkatan jumlah populasi
penduduk Indonesia dengan maraknya problematika alih fungsi lahan menyebabkan
turunnya angka produksi beras. Beras impor menjadi salah satu alternatif untuk
memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, tetapi juga dapat berperan sebagai
jebakan pangan yang menciptakan ketergantungan. Strategi yang bisa dilakukan
untuk untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah program diversifikasi
pangan. Selain beras, Indonesia juga memiliki sumber pangan lokal lain seperti
jagung, sorgum, ubi kayu, ubi jalar, sagu dan lain-lain. Namun bahan pangan non
beras tersebut kalah populer dengan beras dan konsumsinya pun semakin menurun
akibat kebijakan swasembada beras yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Keunggulan beras pada ketersediaan yang melimpah, mudah dicari dan proses
pengolahannya yang mudah mengakibatkan masyarakat menjadi sulit untuk dialihkan
konsumsinya ke sumber pangan lain non beras. Agar program diverisikasi pangan
yang dilakukan mampu menurunkan tingkat konsumsi beras dan mendongkrak tingkat
konsumsi sumber pangan lain maka sumber bahan pangan lokal non beras tersebut
harus diolah sedemikian rupa sehingga mempunyai karakteristik seperti beras,
baik sifat-sifat fisik butiran, penanakan dan tekstur. Produk beras yang dibuat
dari bahan non padi tersebut lebih dikenal sebagai beras analog.
Bentuk fisik dari beras analog ini mirip dengan beras
padi, namun terbuat dari campuran bahan baku lokal, seperti sagu, sorgum,
umbi-umbian, dan jagung. Bahan baku yang dipakai untuk sementara yaitu sorgum,
jagung, dan sagu. Menurut Slamet Budjianto, sebagai produk diversifikasi
pangan, beras analog memiliki keunggulan dalam komposisi bahan baku. Sorgum
dipilih karena indeks glikemiknya rendah, dimana indeks glikemik tersebut
merupakan dampak makanan terhadap kadar gula darah, begitupun jagung dan sagu.
Sehingga beras analog ini menyehatkan dan baik bagi penderita diabetes. Kandungan
protein beras analog 12 persen, lebih tinggi dibandingkan beras yang hanya 6-8
persen.
Sorgum bisa ditanam di lahan kritis,
seperti daerah kering Nusa Tenggara. Demikian pula jagung. Kelebihan lain,
sekali tanam, sorgum bisa dipanen sampai tiga kali. Batang sorgum bisa diolah
menjadi silase untuk pakan ternak. Bahan baku lain, jagung juga mengandung
protein lebih tinggi ketimbang beras. Sagu memang tidak memiliki kandungan
protein, tetapi indeks glikemik sagu dan jagung juga rendah. Kandungan serat
beras analog cukup tinggi sehingga menunjang perbaikan pencernaan. Dari sisi
ketahanan terhadap lingkungan air payau, tanaman sagu cocok untuk menahan
abrasi. Penanaman sagu di pesisir bermanfaat mengurangi dampak kenaikan muka
laut akibat pemanasan global. Dengan demikian, mengonsumsi beras analog, selain
memetik manfaat indeks glikemik rendah, juga berkontribusi terhadap perbaikan
lingkungan. Paling tidak, makan beras analog yang berbahan baku sorgum, jagung,
dan sagu akan lebih lama merasa kenyang dan mendapat kadar protein yang lebih
tinggi dibandingkan beras. Kadar protein tinggi pada beras analog bisa
memperbaiki gizi masyarakat yang kesulitan mengakses sumber protein.
Teknologi pembuatan beras analog membutuhkan alat
granulator (mesin pencetak pelet), dan mesin lainnya. Proses pembuatan beras
analog dapat menggunakan metode granulasi dan metode ekstrusi. Teknologi
tersebut sudah dikembangkan di China dan Filipina. Pembuatan beras analog yang
telah dikembangkan di IPB menggunakan teknologi ekstrusi dengan sistem tekanan
dan pembentukan ulir yang menggunakan mesin tween
screw extruder. Hasil akhirnya menyerupai beras, tetapi dengan warna
kecoklat-coklatan. Hal paling kritis yang harus dikendalikan saat mencetak
campuran bahan baku menjadi beras analog adalah ketepatan suhu, kecepatan ulir
mesin, dan kadar air pada adonan. Berbeda dengan beras biasa yang dimasak
bersama air, pada beras analog, air dididihkan lebih dulu, baru beras
dimasukkan.
Kandungan zat gizi dalam beras analog bisa disesuaikan
dengan kebutuhan. Beras analog bisa dinaikkan kadar protein, serat, ataupun
antioksidannya dengan menyesuaikan bahan baku. Slamet menyatakan, beras analog
bisa dibuat menggunakan bahan baku lokal daerah terkait. Sifat fleksibel inilah
yang menjadi titik unggul pada beras analog dan hal ini tentu saja dapat
menekan angka impor beras dan gandum. Dengan
berbagai kelebihan itu, beras analog bisa dikembangkan secara luas, bahkan bisa
diproduksi besar-besaran untuk ekspor. Kekayaan biodiversitas Indonesia berupa
aneka tanaman sumber karbohidrat, protein, dan serat merupakan modal nyata.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus