Jumat, 07 November 2014

BERAS ANALOG



Beras Analog, Bukan Beras Biasa
Penulis: Deborah Gita Sakinah (13356)
Sumber: Kementrian Riset dan Teknologi Republik Indonesia


Indonesia dulunya dikenal dengan negara agraris. Hal ini didukung oleh fakta tercapainya swasembada pangan pada era Suharto dengan produksi beras 28,5 juta ton per tahun. Namun, peningkatan jumlah populasi penduduk Indonesia dengan maraknya problematika alih fungsi lahan menyebabkan turunnya angka produksi beras. Beras impor menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, tetapi juga dapat berperan sebagai jebakan pangan yang menciptakan ketergantungan. Strategi yang bisa dilakukan untuk untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah program diversifikasi pangan. Selain beras, Indonesia juga memiliki sumber pangan lokal lain seperti jagung, sorgum, ubi kayu, ubi jalar, sagu dan lain-lain. Namun bahan pangan non beras tersebut kalah populer dengan beras dan konsumsinya pun semakin menurun akibat kebijakan swasembada beras yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Keunggulan beras pada ketersediaan yang melimpah, mudah dicari dan proses pengolahannya yang mudah mengakibatkan masyarakat menjadi sulit untuk dialihkan konsumsinya ke sumber pangan lain non beras. Agar program diverisikasi pangan yang dilakukan mampu menurunkan tingkat konsumsi beras dan mendongkrak tingkat konsumsi sumber pangan lain maka sumber bahan pangan lokal non beras tersebut harus diolah sedemikian rupa sehingga mempunyai karakteristik seperti beras, baik sifat-sifat fisik butiran, penanakan dan tekstur. Produk beras yang dibuat dari bahan non padi tersebut lebih dikenal sebagai beras analog.
Bentuk fisik dari beras analog ini mirip dengan beras padi, namun terbuat dari campuran bahan baku lokal, seperti sagu, sorgum, umbi-umbian, dan jagung. Bahan baku yang dipakai untuk sementara yaitu sorgum, jagung, dan sagu. Menurut Slamet Budjianto, sebagai produk diversifikasi pangan, beras analog memiliki keunggulan dalam komposisi bahan baku. Sorgum dipilih karena indeks glikemiknya rendah, dimana indeks glikemik tersebut merupakan dampak makanan terhadap kadar gula darah, begitupun jagung dan sagu. Sehingga beras analog ini menyehatkan dan baik bagi penderita diabetes. Kandungan protein beras analog 12 persen, lebih tinggi dibandingkan beras yang hanya 6-8 persen.
Sorgum bisa ditanam di lahan kritis, seperti daerah kering Nusa Tenggara. Demikian pula jagung. Kelebihan lain, sekali tanam, sorgum bisa dipanen sampai tiga kali. Batang sorgum bisa diolah menjadi silase untuk pakan ternak. Bahan baku lain, jagung juga mengandung protein lebih tinggi ketimbang beras. Sagu memang tidak memiliki kandungan protein, tetapi indeks glikemik sagu dan jagung juga rendah. Kandungan serat beras analog cukup tinggi sehingga menunjang perbaikan pencernaan. Dari sisi ketahanan terhadap lingkungan air payau, tanaman sagu cocok untuk menahan abrasi. Penanaman sagu di pesisir bermanfaat mengurangi dampak kenaikan muka laut akibat pemanasan global. Dengan demikian, mengonsumsi beras analog, selain memetik manfaat indeks glikemik rendah, juga berkontribusi terhadap perbaikan lingkungan. Paling tidak, makan beras analog yang berbahan baku sorgum, jagung, dan sagu akan lebih lama merasa kenyang dan mendapat kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan beras. Kadar protein tinggi pada beras analog bisa memperbaiki gizi masyarakat yang kesulitan mengakses sumber protein.
Teknologi pembuatan beras analog membutuhkan alat granulator (mesin pencetak pelet), dan mesin lainnya. Proses pembuatan beras analog dapat menggunakan metode granulasi dan metode ekstrusi. Teknologi tersebut sudah dikembangkan di China dan Filipina. Pembuatan beras analog yang telah dikembangkan di IPB menggunakan teknologi ekstrusi dengan sistem tekanan dan pembentukan ulir yang menggunakan mesin tween screw extruder. Hasil akhirnya menyerupai beras, tetapi dengan warna kecoklat-coklatan. Hal paling kritis yang harus dikendalikan saat mencetak campuran bahan baku menjadi beras analog adalah ketepatan suhu, kecepatan ulir mesin, dan kadar air pada adonan. Berbeda dengan beras biasa yang dimasak bersama air, pada beras analog, air dididihkan lebih dulu, baru beras dimasukkan.
Kandungan zat gizi dalam beras analog bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Beras analog bisa dinaikkan kadar protein, serat, ataupun antioksidannya dengan menyesuaikan bahan baku. Slamet menyatakan, beras analog bisa dibuat menggunakan bahan baku lokal daerah terkait. Sifat fleksibel inilah yang menjadi titik unggul pada beras analog dan hal ini tentu saja dapat menekan angka impor beras dan gandum.  Dengan berbagai kelebihan itu, beras analog bisa dikembangkan secara luas, bahkan bisa diproduksi besar-besaran untuk ekspor. Kekayaan biodiversitas Indonesia berupa aneka tanaman sumber karbohidrat, protein, dan serat merupakan modal nyata.

2 komentar: